Cari Blog Ini

Jumat, 20 April 2012

Antara Syari’at, Tarekat, Hakikat-Ma’rifat

Posted on 11 March 2011 by Mif19 i 8 Votes Quantcast Barangsiapa mengambil syari’at belaka tanpa hakikat, maka ia fasik; dan barangsiapa mengambil hakikat belaka tanpa syari’at, maka ia kafir zindik. – Imam al-Ghazali Alkisah, ketika jasad manusia pertama diciptakan oleh Tuhan dengan kedua tangan-Nya, ia bukan apa-apa. Setan yang telah lebih dulu eksis memeriksa isi jasad makhluk baru yang kelak dinamakan Adam. “Kosong,” kata Setan, “hanya tanah liat dengan rongga-rongga, gumpalan-gumpalan, cairan kental dan tulang-tulang kokoh.” Tetapi lalu Tuhan meniupkan Ruh-Nya ke jasad itu—dan hiduplah ia. Lantas diajarilah Adam “nama-nama segala hal” (Q.S. 2:31), dan sujudlah segala malaikat kepadanya atas perintah Tuhan, kecuali, tentu saja, Iblis. Manusia pertama-tama mengenal dirinya sendiri melalui narasi, kisah, dongeng. Melalui “nama-nama segala hal”, Adam mengenal dirinya, mengenal dunianya. Kita bisa berimajinasi banyak hal tentang apakah yang diajarkan oleh Tuhan dalam “nama-nama segala hal” itu. Tetapi ada satu pesan yang sangat jelas: melalui “nama-nama segala hal” itulah Adam (manusia) ditempatkan lebih mulia ketimbang makhluk yang tak mengenal “nama-nama segala hal” meski makhluk itu sesuci malaikat sekalipun! Karena itulah manusia diangkat menjadi khalifah Allah di muka bumi — meskipun pada mulanya ada keberatan dari para malaikat. Nama-nama segala hal adalah kebenaran paripurna yang dipahami oleh Adam. Ia berada di aras surgawi, ada dalam keabadian, atau, meminjam istilah penyair dan mistikus besar Ibnu ‘Arabi, nama-nama segala hal berada dalam a’yan tsabitah (entitas-entitas abadi dan lengkap dalam pengetahuan Tuhan, yang bisa menjadi aktual tetapi juga bisa tidak). Saat Tuhan menghendaki, maka ia akan maujud. Maka dari itu, entitas-entitas itu pada hakikatnya adalah “kemungkinan mutlak”—kemungkinan yang senantiasa hadir dalam kemutlakan Tuhan. Manusia, yang mewarisi “nama-nama segala hal”, adalah salah satu manifestasi dari kemungkinan tersebut. Ini berarti bahwa diri manusia beserta hakikatnya sendiri senantiasa hadir bersama Tuhan, dan Tuhan senantiasa hadir dalam diri manusia, sebab ciptaan seisinya adalah perwujudan dari “kemungkinan mutlak” dalam Diri Tuhan. Implikasinya adalah: manusia menjadi “ahli waris” sifat-sifat Tuhan—karena Tuhan Maha Mencipta, maka manusia juga mewarisi bakat untuk “mencipta”; karena Tuhan adalah Maha Pengasih, maka manusia juga “memiliki” sifat semacam ini, dan seterusnya—namun tentunya dalam kadar yang jauh lebih kecil dan kurang sempurna. Beberapa mistikus Islam mengatakan bahwa nama-nama segala hal adalah Firman Tuhan; Firman atau “Kata” ilahi yang tak terpisah dari objek yang dinamai. Segala pengetahuan berawal dari Firman—seperti dikatakan dalam Perjanjian Baru: “Pada awalnya adalah Firman.” Dalam Al-Quran dinyatakan, Tuhan berfirman “Kun! Fayakun (Jadilah! Maka terjadilah).” “Kun” oleh para mistikus Islam menjadi petunjuk penting untuk memahami penciptaan. Kata Kun ditafsirkan bermacam-macam. Kerap dinyatakan bahwa dalam pra-eksistensi (sebelum ciptaan terwujud—Peny.), nama dengan yang dinamai bukanlah dua unsur yang terpisah—sebuah Firman, Kalam, yang “diucapkan” Tuhan adalah keseluruhan eksistensial dari yang diacu oleh Kata tersebut. Ketika Tuhan “berkata” petir maka kata itu adalah wujud petir itu sendiri, dengan cahaya, ledakan, dan panasnya. Tetapi setelah manusia diturunkan ke bumi, maka kata dipisahkan oleh Tuhan dari objek yang dikatakan. Persoalannya sekarang adalah ketika “nama-nama segala hal” yang ada dalam aras (tingkat) kekekalan itu diturunkan ke aras duniawi, ke aras manusia biasa yang tak kekal (sebab manusia pasti mati di bumi), “nama-nama segala hal” harus dikomunikasikan dengan cara yang sesuai dengan realitas bumi tempat manusia berpijak. Dengan kata lain “nama” dengan “yang dinamai” terpaksa “dipisahkan”, sebab dunia bukanlah sesuatu yang abadi, dan yang abadi tak bisa ditampung oleh yang fana. “Kata-kata,” yang membentuk “kalimat” yang bermakna, lantas menjadi semacam label untuk objek yang diacu oleh kata itu. Maka ketika kita kini menyebut angin, kata angin ini bukan hakikat angin itu sendiri, tetapi menjadi semacam abstraksi dalam pikiran, dalam bayangan mental. Kata menjadi sebentuk “syari’at” yang memberikan informasi dari “hakikat” yang diacu kata-kata. Beberapa mistikus yang mendalami hakikat kata-kata—dengan metodenya sendiri—berhasil “menyatukan kembali” kata (nama) dengan objek yang dikatakan, menyatukan kembali “nama” dengan “yang dinamai”. Mereka yang berhasil mencapai taraf itu dianggap mampu menciptakan sesuatu hanya dengan kata. Kisah legenda Sunan Kalijaga yang mengubah tanah menjadi emas hanya dengan mengucap adalah perlambang dari pandangan ini. Atau, bisa dinyatakan bahwa “kata” dapat menimbulkan efek transformatif. Dengan kata lain, kata “yang dihidupkan” menjadi sebentuk “jalan,” thariqah, yang menghantarkan kita pada hakikat, haqiqah, dari apa-apa yang dirujuk oleh kata itu. Oleh karena itu, kata menjadi semacam kunci penting untuk membuka harta karun pengetahuan “nama-nama segala hal” yang tersimpan utuh di dalam aras keabadian. Barangkali inilah alasan Tuhan menganugerahi manusia kemampuan untuk berkomunikasi, bercakap-cakap, menulis, dan menyatakan pendapat melalui kata-kata. “Membaca” dalam pengertian yang paling luas, adalah semacam anak tangga untuk menggapai “nama-nama segala hal.” Dan karena “nama-nama segala hal” pada hakikatnya adalah pengetahuan azali yang bersifat “mungkin secara mutlak”, maka manusia yang mendapatkan sedikit saja dari kemungkinan itu bakal mendapatkan pengetahuan yang mengandung kekuatan transformatif yang besar. Manusia bisa mengoperasionalisasikan potensi kreatifnya melalui pengetahuan. Dengan demikian, ringkasnya, secara teori, manusia yang terus membaca dan menulis pengetahuan, akan lebih besar peluangnya mendapatkan sepercik pengetahuan “nama-nama segala hal”, mendapatkan segala informasi yang diperlukan. Dan ketika level yang harus dilewati ini sudah dikuasai, setelah ia memahami “nama-nama segala hal”, maka pada titik tertentu ia akan mengalami transformasi, dan pada gilirannya ia akan melampaui “nama-nama segala hal”—yakni melampaui dunia kata-kata menuju ke dunia penyaksian. Ia akan melampau level transformasi menuju afirmasi—yakni pengetahuan tentang Tuhan yang hakiki. Inilah puncak pengetahuan, yakni pengetahuan dari segala pengetahuan, atau inti/esensi dari segala pengetahuan, atau dalam bahasa Sufi lebih dikenal sebagai haqiqah. Jadi, demikianlah urutan suluk (perjalanan ruhani) manusia dalam ajaran Islam: syari’ah (informasi), thariqah (transformasi) dan akhirnya haqiqah (afirmasi). Lalu Apakah haqiqah itu? Esensi atau inti hakikat (haqiqah) akan terwujud ketika manusia memandang dirinya bukan apa-apa, baik pada dirinya sendiri maupun dalam pengetahuannya, kesadarannya, dan segenap sifat-sifatnya. Hanya syariat suci dari para nabi dan rasul sajalah yang dapat selaras dengan realitas semacam ini. Segala hal yang dibawa oleh nabi dan rasul mengandung kebenaran-kebenaran tertentu yang dapat dijangkau akal, dan kebenaran-kebenaran lain yang tak mungkin dijangkau dengan akal. Walau begitu, semua kebenaran ini diakui oleh umat mukmin sebagai satu entitas tunggal, dan kesatuan merekalah yang meniadakan segenap pemikiran dan pendapat manusia (semata). Karena, kesatuan dari apa-apa yang dapat dimengerti dengan apa-apa yang tak terjangkau akal manusia akan melahirkan realitas ketiga yakni realitas yang tak dapat dimengerti (oleh akal pikiran), tetapi sekaligus juga tidak berada di luar pikiran, dan karenanya berada di luar kedua kategori ini; karena bukan termasuk kategori-kategori ini, maka manusia, dengan pengetahuan dan kesadarannya, bukanlah apa-apa di hadapan realitas ini. Manusia (di dalam realitas ketiga ini) lalu menjadi seperti orang buta yang ditunjuki jalan dan membiarkan dirinya dibimbing. Nah, begitulah hakikat itu. —Ibnu Abbad Al-Rondi Berdasarkan penjelasan yang menarik dari Ibnu Abbad itu, maka dapat dikatakan, seperti ditulis oleh Mason (1995), hakikat (haqiqat) adalah keadaan di mana seseorang lebur di hadapan Dzat yang tak dapat diketahui, Dzat yang tidak bisa dikenal, tak dapat dibayangkan, dan tak dapat diserupakan dengan sesuatu. Untuk menjaga kemurnian iman terhadap keberadaan Dzat yang nyata dan serba-meliputi (imanen), namun sekaligus tak terbandingkan (transendental), maka seseorang tidak boleh menyerupakan-Nya dengan sesuatu yang lain. Kehadiran Dzat ini berada di luar keberadaan dan jangkauan kemampuan pemahaman seluruh manusia, tetapi pada saat yang sama keberadaan-Nya sangat dekat dengan keberadaan manusia. Di dalam Al-Quran dinyatakan, “Dia lebih dekat ketimbang urat lehermu.” Dzat ini membeda-bedakan sekaligus menyatukan segala sesuatu dalam realitas-Nya yang tak dapat diketahui; dan karena itu Dia menjadi satu-satunya pusat dari segala sesuatu. Dalam analisis terakhir, pandangan yang ekstrem ini akan sampai pada konsep “kesatuan” antara Tuhan dan manusia—sebuah keyakinan yang sulit dipahami karena dalam pandangan ini, jika dipahami hanya dari perspektif tunggal, yakni perspektif lahiriah semata, maka akan berisiko memunculkan pemahaman yang bisa memorak-porandakan sistem ajaran Tauhid yang menyatakan adanya perbedaan antara Pencipta dan ciptaan-Nya. Dari sini muncul pertanyaan, apakah keyakinan “ekstrem” ini bisa dipahami? Atau apakah “pengetahuan hakikat” semacam ini bisa dipahami? Apakah kontroversi-kontroversi itu menunjukkan bahwa pengalaman semacam ini tak lebih dari semacam “hipotesis”? Atau sekadar ilusi? Menurut ajaran Sufi, hakikat adalah sebentuk pengetahuan pula yang bisa diraih manusia. Karena ia adalah “pengetahuan untuk manusia” maka tentu saja ia bisa dipahami. Tetapi pemahaman ini harus diletakkan pada level hirarkis yang berbeda. Karena haqiqah berada pada level pengetahuan tertinggi, maka seseorang tak bisa mencapainya dengan cara langsung melompat ke level itu. Tentu saja ada pengecualian, seperti dalam kasus wali jadzab (yang akan kami bahas lebih lanjut di bab tentang Wali Allah). Hirarki itu, seperti telah dijelaskan di atas, adalah syari’at, tarekat dan hakikat. Dalam ajaran Islam, hal itu berhubungan langsung dengan tiga unsur utama dalam agama Islam: Iman (percaya), Islam (pasrah), dan Ihsan (kebajikan dan penyaksian tertinggi). Dilihat dari perspektif ini, pertama-tama seseorang harus percaya dan pasrah pada perintah dan tata-aturan Ilahi yang diwartakan melalui Rasulullah Muhammad SAW. Itu berarti bahwa seseorang harus merealisasikan premis dasar dari penciptaan dirinya: wa maa khalaqtul jinna wal insana illa liya’budu (Aku tak ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghambakan diri kepada-Ku: Q.S. adz-Dzariyat: 56). Dalam konteks ini syariat adalah petunjuk awal untuk merealisasikan penghambaan dan tarekat adalah proses realisasinya. Pada tingkat yang lebih tinggi, ayat itu juga ditafsirkan sebagai perintah untuk mengenal (ma’rifat) Allah: “Sesungguhnya Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk ma’rifat kepada-Nya” (tafsir Ibn Abbas). Karena Allah adalah al-Haqq (Kebenaran), maka dibutuhkan keimanan dan tindakan yang benar untuk mencapai “Kebenaran Tertinggi” (Haqiqah). Dalam praktiknya, seseorang harus melaksanakan semua nilai kebenaran yang menyempurnakan, atau mengintensifkan dan memperdalam aspek iman dan Islam melalui amal saleh (praktik ibadah yang benar). Jadi, seseorang harus mengikatkan diri secara total kepada Kebenaran dan kepatuhan (taat) sepenuhnya pada Hukum Suci (syari’at). Hal ini berarti, di satu pihak, seseorang harus mengenal Kebenaran sepenuhnya (kaffah), dan di pihak lain mematuhi Hukum Suci dengan seluruh keberadaan kita. Jika demikian halnya, seseorang harus beribadah dengan keyakinan mendalam bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Benar secara Absolut al-Haqq), Maha Tak Terhingga (transenden) dan Maha Meliputi (imanen). Karena Dia adalah Maha Tak Terhingga dan Maha Meliputi, maka Dia niscaya “melihat” dengan “Penglihatan” yang tak terhingga dan “Penglihatan” yang meliputi segala sesuatu yang ada di seluruh semesta. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: “Beribadahlah engkau seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jikalau engkau tak melihatnya maka [ketahuilah] bahwa sesungguhnya Dia melihatmu.” Ini juga adalah jawaban Rasulullah ketika beliau ditanya oleh Malaikat Jibril tentang makna dari Ihsan. Jadi, ihsan bertemu dengan haqiqah atau bahkan identik dengannya, sebab berdasarkan hadits itu dapat disimpulkan bahwa ihsan adalah kepercayaan yang benar dan amal yang benar, dan pada saat yang sama ihsan adalah inti dari keduanya: Inti dari kepercayaan (keyakinan) yang benar adalah kebenaran mistis (haqiqah), dan amal yang benar adalah praktik ibadah yang sesuai dengan petunjuk dari Tuhan, atau syari’at. Dalam analisis terakhir, karena yang dituju adalah al-Haqq (Yang Maha Benar), maka dalam perjalanan menuju kepada pengetahuan yang benar tentang Yang Maha Benar (haqiqah) seseorang harus memiliki informasi yang benar (Syari’ah atau Hukum Suci yang bersumber dari Yang Maha Benar), sebab tanpa petunjuk dan arah yang benar, seseorang bisa tersesat; dan kemudian seseorang harus menempuh rute jalan yang benar (thariqah) berdasarkan petunjuk yang benar itu. Jadi menurut Sufi, hanya melalui syari’at dan tarekat, seseorang baru akan mendapatkan hakikat kebenaran, yang buahnya adalah pengetahuan Tuhan sebagaimana seharusnya Dia dikenal (ma’rifah). Mendapatkan perpaduan hakikat kebenaran dan ma’rifat dalam terminologi Sufi juga disebut wushul (sampai). Jadi, jika kita sintesiskan, perjalanan sampai ke wushul (sampai ke hakikat-ma’rifat) mesti melampaui tiga tahap dengan dua lapisan. Guru kami, Syaikhuna Ahmad Shahibul Wafa’ Taj al-Arifin (Abah Anom) dari Suryalaya, Tasikmalaya, meringkaskan tahap ini sebagai berikut: Martabat wushul (sampai kepada Allah) adalah [melalui] tiga perjalanan: (1) Islam; (2) Iman; (3) Ihsan … Seorang hamba Allah yang sibuk dalam ibadah [berarti] berada dalam maqam Islam atau Syari’at. Apabila amal itu kemudian [meningkat dengan didasari oleh] hati yang bersih dan sunyi daripada kejahatan, dipenuhi oleh kebajikan sempurna dan ikhlas, maka orang itu berada dalam maqam Iman atau Tarekat. Apabila orang itu [meningkat lagi] ke martabat ibadah yang sungguh-sungguh demi Allah semata (lillahi ta’ala), yakni [saat ia beribadah] seolah-olah Allah melihat dirinya, maka ia berada dalam maqam ihsan atau hakikat … Berkata Tuan Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasallahu sirrhu, “tiada lain tujuan ahli Tasawuf (Sufi) adalah membersihkan batin dengan nur Tauhid dan menggapai ma’rifat.” Wa Allahu a’lam bi ash-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar